Oleh : Mln. Muhammad Ya’qub Suriadi
Menurut Kamus Singkat Ibrani Indonesia, kata torah diambil dari kata kerja bahasa Ibrani yarah. Sedangkan kata yarah sendiri berarti "memberi pengajaran, mengajarkan, menunjukkan". Dengan demikian, kata torah dapat bermakna "ajaran" atau "instruksi", apakah itu ajaran dari seorang ibu, atau dari ayah, termasuk pula tentunya ajaran dari Tuhan.
Merujuk dari kamus Aqrab al-Mawarid oleh Said Al-Khauri asy-Syarthuthi, Jemaat Ahmadiyah mengomentari kata Taurah yang tertera dalam Al-Quran sebagai berikut “Kata Taurah diambil dari kata wara yang berarti ia membakar; ia menyembunyikan. Taurah disebut demikian barangkali karena pada masa permulaan, ketika isinya masih murni, membacanya dan mengamalkan ajarannya menyalakan dalam hati manusia api cinta Ilahi.
Mungkin, kata itu mengandung pula isyarat bahwa nubuatan-nubuatan yang cemerlang mengenai kedatangan Nabi pembawa Syariat terakhir ada tersembunyi dalam Kitab itu”.
Meskipun sepintas terdapat perbedaan dalam arti katanya, namun dalam pengertian yang lebih luas kedua sumber rujukan tersebut memiliki pengertian yang sama bahwa Taurat adalah nama yang dikenakan kepada lima Kitab Nabi Musa a.s.: Kejadian, Keluaran, Imamat Orang Lewi, Bilangan, dan Ulangan.
Selain mengandung sepuluh perintah yang merupakan hukum utama dalam syariat Nabi Musa, Taurat juga berisikan ajaran-ajaran yang luhur mengenai hubungan manusia kepada Tuhan serta terhadap sesama manusia. Al-Quran menerangkan:”Katakanlah,“maka datangkanlah sebuah kitab dari sisi Allah sebagai yang lebih baik memberi perunjuk daripada keduanya, supaya aku mengikutinya, jika kamu memang orang-orang yang benar”.
Ayat ini mengisyaratkan kepada kedudukan sangat tinggi yang dimiliki oleh Al-Quran dan Taurat di antara kitab-kitab samawi. Dan Al-Quran adalah yang terbaik dari antara kitab-kitab wahyu, sedang kitab Taurat menduduki tempat kedua.
Meskipun dalam persfektif Islam, kandungan kitab Taurat saat ini telah mengalami perubahan-perubahan dari bentuk aslinya, namun Islam juga mengajarkan bahwa Taurat dalam beberapa seginya tetap mewarisi firman-firman suci dari Tuhan Yang Maha Esa.
“Hormatilah ayahmu dan ibumu, seperti yang diperintahkan kepadamu oleh Tuhan, Allahmu, supaya lanjut umurmu dan baik keadaanmu di tanah yang diberikan Tuhan, Allahmu, kepadamu. Jangan membunuh. Jangan berzinah. Jangan mencuri.
Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu. Jangan mengingini isteri sesamamu, dan jangan menghasratkan rumahnya, atau ladangnya, atau hambanya laki-laki, atau hambanya perempuan, atau lembunya, atau keledainya, atau apapun yang dipunyai sesamamu”.
Firman itulah yang diucapkan TUHAN kepada seluruh jemaahmu dengan suara nyaring di gunung, dari tengah-tengah api, awan dan kegelapan, dan tidak ditambahkan-Nya apa-apa lagi. Ditulis-Nya semuanya pada dua loh batu, lalu diberikan-Nya kepadaku." Bait ayat di atas sekedar contoh penggalan pesan luhur dari dalam ajaran Taurat.
Yesus as yang dipersonifikasikan sebagai Tuhan oleh sebagian besar umat kristen meyakini bahwa Taurat merupakan hukum utama yang harus diembannya pada masa itu. Yesus datang bukan untuk meniadakan hukum Taurat tetapi justru untuk menggenapinya.
Ayat-ayat Al-Kitab membenarkan pernyataan itu, bahwa Yesus terlahir, besar dan wafat sebagai seorang Yahudi yang taat terhadap perintah Taurat. Sepanjang hidupnya beliau mengabdikan diri sebagai pewarta dari ajaran Taurat.
Persoalannya adalah, bagaimana jika nilai-nilai kebaikan, nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Taurat tersebut justru dianggap sebagai sebuah kutukan bagi manusia? Taurat dipandang sebagai sebuah ajaran yang membuat manusia jatuh tergelincir dalam kondisi tercela. Pernyataan demikian didasarkan dari ucapan Paulus yang tertulis di dalam berbagai nash Al-Kitab perjanjian baru.
Paulus menganggap bahwa semua hukum agama itu adalah kutukan, dan Yesus datang untuk menghilangkan kutukan tersebut. Paulus juga mengatakan bahwa hukum Taurat dapat membangkitkan murka, meningkatkan nafsu, menimbulkan pelanggaran dan sebagainya, sehingga Paulus perlu membebaskan diri dari hukum Taurat.
“Kamu tahu, bahwa tidak seorangpun yang dibenarkan oleh karena melakukan hukum Taurat, tetapi hanya oleh karena iman dalam Kristus Yesus. Sebab itu kamipun telah percaya kepada Kristus Yesus, supaya kami dibenarkan oleh karena iman dalam Kristus dan bukan oleh karena melakukan hukum Taurat. Sebab: "tidak ada seorangpun yang dibenarkan" oleh karena melakukan hukum Taurat”.
Dari cuplikan ayat di atas, sepintas kita dapat mengetahui sikap Paulus terhadap hukum Taurat. Dia menganggap bahwa hukum Taurat itu tidak ada artinya, bahkan meskipun mereka melakukan kebaikan maka perbuatannya berujung kepada kesia-siaan. Kenyataan ini sangat jauh berbeda dengan semangat Yesus yang justru berjuang mengajarkan dan mengamalkan hukum Taurat.
Paulus mengatakan bahwa kematian Yesus akan menjadi sia-sia belaka jika terdapat nilai-nilai kebajikan dalam Taurat. “Aku tidak menolak kasih karunia Allah. Sebab sekiranya ada kebenaran oleh hukum Taurat, maka sia-sialah kematian Kristus”.
Di bagian lain Paulus mengatakan bahwa hukum Taurat merupakan sarana yang membuat sia-sia keimanan dan membangkitkan murka. “Sebab jika mereka yang mengharapkannya dari hukum Taurat, menerima bagian yang dijanjikan Allah, maka sia-sialah iman dan batallah janji itu. Karena hukum Taurat membangkitkan murka, tetapi di mana tidak ada hukum Taurat, di situ tidak ada juga pelanggaran”.
Keyakinan seperti ini sungguh bertentangan dengan ajaran semua agama yang ada di dunia. Semua pengikut suatu agama pastinya meyakini bahwa ajaran agamanya harus dipatuhi demi tercapainya keselamatan. Berbeda dengan Paulus yang beranggapan bahwa ajaran Taurat malah sebaiknya harus ditinggalkan.
Puncaknya Paulus mengajarkan sebuah ajaran kebencian terhadap ajaran Taurat, dia mengatakan bahwa Taurat merupakan hukum kutukan dan Yesus datang menebus kutukan tersebut. Dia menyeru :”Kristus telah menebus kita dari kutuk hukum Taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita, sebab ada tertulis: "Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib!".
Di dalam hukum Taurat terdapat beragam ajaran luhur seperti; jangan mencuri, jangan berzina, jangan mengambil harta orang lain dan sebagainya. Lantas bagaimana mungkin ajaran mulia tersebut justru dikatakan sebagai sebuah kutukan?
Keadaan akan jauh lebih buruk lagi jika kemudian menganggap bahwa Yesus datang ke dunia untuk membebaskan kutukan tersebut. Dengan demikian segala hukum kebaikan di dalam Taurat telah dibebaskan oleh Yesus sehingga mencuri, berzina, mengambil harta orang lain, hingga berbuat durhaka diperkenankan oleh Paulus. Karena hukum Taurat dianggap sebagai kutukan dan Yesus datang membebaskan kutukan tersebut maka umat Kristen dapat berbuat apa saja, selama mereka percaya kepada Yesus.
Keadaan ini akan semakin menjauh dari nalar, jika kemudian kita kaitkan dengan ajaran para Nabi lainnya, terutama nabi pengemban hukum Taurat. Dimana seluruh nabi pastinya mengajarkan kepada ummatnya sebuah ajaran agama yang meliputi hal-hal kebaikan. Secara sepintas –Na’uzubillah- nabi-nabi tersebut berada dalam sebuah kutukan, karena mengajarkan sebuah ajaran kutukan.
Jauh berbeda dengan ajaran Paulus, Islam justru memiliki keyakinan yang berbeda terhadap masalah hukum agama. Islam mengemukakan bahwa pada hakikatnya kelemahan manusia justru merupakan alasan untuk turunnya syariat (hukum agama), agar dapat membantu manusia mencapai maksudnya yang tinggi. Oleh karena itu syariat bukanlah suatu kutukan, melainkan suatu pertolongan dan rahmat.
Allah berfirman dalam Al-Quran : “Dan, Allah swt. menghendaki berlaku kasih-sayang kepadamu dan orang-orang yang menuruti hawa-nafsu menghendaki kamu bener-benar cenderung kepada kejahatan. Allah swt. menghendaki untuk meringankan beban dari kamu, dan karena manusia telah diciptakan lemah”.
Salah satu makna ayat ini menjelaskan sebuah alasan mengapa Tuhan telah menurunkan syariat. Bahwa, manusia pada fitratnya lemah dan tidak dapat menemukan sendiri jalan-jalan untuk mencapai kemajuan rohani. Tuhan telah melepaskan beban itu darinya dengan menurunkan hukum agama.
Ayat ini merupakan sanggahan pula terhadap ajaran Paulus di atas yang menyatakan bahwa hukum agama adalah kutukan. Islam mengemukakan bahwa pada hakikatnya kelemahan manusia justru merupakan alasan untuk turunnya syariat agar dapat membantu manusia mencapai maksudnya yang tinggi. Oleh karena itu, syariat bukanlah suatu kutukan, melainkan suatu pertolongan dan rahmat.
0 Comments