“PUASA” RAHASIA PALING BESAR BAGI KEMAJUAN SUATU BANGSA


Oleh: Mln. Muhaimin Khairul Amin
             

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ



“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu,  agar kamu bertakwa.” (Al-Baqarah (2) : 183)

Segala puji bagi Allah Ta’ala yang telah menjadikan bulan Ramadhan, bulan yang paling mulia ‘Sayyidus-Syuhur’ di mana pintu-pintu langit dibuka dan pintu-pintu neraka ditutup. Bulan yang penuh dengan berkah di mana Allah Yang Maha Pengasih menganugerahkan rahmat-Nya di sepuluh hari yang pertama, ampunan di sepuluh hari pertengahannya, dan pembebasan dari api neraka di akhirnya.

Bulan Suci Ramadhan mempunyai keistimewaan di dalam agama Islam. Nabi Saw. dan para sahabat biasanya berdo’a kepada Allah Swt. untuk menjaga mereka agar tetap hidup sampai Ramadhan berikutnya. Do’a mereka kepada Allah adalah untuk menolong mereka mencapai Ramadhan dari semenjak beberapa bulan sebelum kedatangannya. Lalu, apakah makna dan tujuan berpuasa yang dicontohkan oleh Rasululah Saw. bagi kita selaku pengikutnya? Adakah korelasi antara tujuan yang hendak di capai dari ibadah puasa dengan kemajuan suatu bangsa?

Saudara-saudari tercinta tentu sudah paham bahwa berpuasa diperintahkan Allah kepada bangsa (umat) nabi Besar Muhammaad Saw. dan pada arah yang sama Dia juga memerintahkan kepada bangsa-bangsa (ummat-ummat) sebelum mereka. Dan, tidak diragukan, puasa adalah ibadah yang unik dan besar manfaatnya. Kenapa demikian? penulis yang memiliki kelemahan di sana-sini mencoba untuk menyajikan salah satu kehebatan dari puasa, apabila ibadah yang satu ini dijalankan dengan sebenar-benarnya.

Saudara-saudari yang mulia, sebagaimana yang kita maklumi bersama bahwa cita-cita para pendiri Negara Republik Indonesia ialah membentuk masyarakat yang adil dan makmur.  Menurut penulis, cita-cita tersebut juga termasuk ke dalam salah satu dari sekian banyak cita-cita para nabi.

Dahulu, para pejuang kita merumuskan cita-cita tersebut, yakni pada waktu mendirikan Negara ini. Sebagai muslim yang bertanggung jawab, kita berkewajiban untuk meneruskan cita-cita tersebut, apapun resiko dan konsekuensinya. Imam ibnu Taymiyah mengatakan dalam bukunya Al-Amru bil Ma’ruf wa Nahyu ‘anil Munkari, “Tugas yang paling tinggi dan paling utama dari suatu pemerintahan adalah menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakatnya.”

Terciptanya Keadilan dan kemakmuran merupakan salah satu indikasi dari kesuksesan suatu bangsa, dan itu menyangkut segala hal, diantaranya dalam bidang ekonomi, agama, social budaya, pendidikan, sandang pangan dan kesejahteraaan lainnya.

Masyarakat adil makmur itu terdiri dari orang-orang yang mampu menegakkan kesaksian yang benar. Masyarakatnya juga terpelihara kehormatannya dari berbagai dosa dan nista, tidak ada kesenjangan ekonomi yang sangat tinggi antara yang kaya dengan yang miskin, masyarakatnya tidak menentang perintah Tuhan, terciptanya kerukunan dalam masyarakat, bersih dari kemaksiatan-kemaksiatan, meratanya pembangunan dan lain-lain yang mengarah pada terciptanya masyarakat yang Baldatun, Thayyibatun wa Rabbun Ghofuwr.

Untuk mewujudkan semua itu diperlukan orang-orang yang baik dalam pandangan Allah Ta’ala, dan Orang yang memiliki sifat ketakwaan lah yang memiliki kedudukan mulia dihadapan Allah Ta’ala. Intinya, untuk membentuk masyarakat yang adil dan makmur itu diperlukan orang-orang yang memiliki sifat ketakwaan, terutama mulai dari pimpinan pemerintahan sampai kepada anggota masyarakatnya yang paling bawah sekalipun. Contohnya saja di lingkungan keluarga diperlukan seorang kepala rumah tangga yang muttaqi. Begitu pun di lingkungan masyarakat dan pemerintahan.

Menjadi imam (pemimpin) dapat dikatakan merupakan keinginan setiap orang untuk mencapainya, karena jika seseorang menjadi pemimpin berarti ia menempati suatu posisi paling strategis. Sebab, ia menjadi titik pusat (sentral) dalam berbagai hal. Bahkan, merupakan suatu kebanggaan karena jika seseorang menjadi pemimpin berarti memegang kekuasaan tertinggi dalam berbagai hal atas yang dipimpinnya.

Namun, apalah artinya menempati posisi sebagai imam (pemimpin) kalau orang-orang yang dipimpinnya ternyata mereka yang buruk akhlak dan rohaninya, misalnya menjadi pemimpin para koruptor, pemimpin teroris, serta pemimpin berbagai kelompok kejahatan dan keburukan lainnya. Oleh karena itu berkenaan dengan menjadi imam (pemimpin) yang hakiki ALLAH  TA’ALA  telah mengajarkan suatu do’a, firman-Nya:

“Dan orang orang yang berkata: ‘Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami agar  isteri-isteri kami dan keturunan kami menjadi penyejuk mata kami, dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan: 74)

Dari ayat tersebut, kita ketahui bahwa untuk menjadi lingkungan yang hakiki di lingkungan masyarakat (negara) harus dimulai dari keberhasilan menjadi imam (pemimpin) di lingkungan rumah tangga, sebab di lingkungan rumahtangganya itulah kepemimpinan hakiki seseorang dimulai.

Jika tidak demikian, maka bagaimanapun baiknya kepemimpinan seseorang di luar rumah tangganya sedikit-banyak pasti akan diwarnai oleh berbagai macam kepura-puraan, kemunafikan dan ketidak tulus-ikhlasan.

Kenyataan yang terjadi dalam dunia politik membuktikan bahwa jatuhnya para politikus terkenal ketika mereka berusaha menempati posisi sebagai pemimpin negara atau partai--khusunya di negara-negara Barat—pada umumnya tersandung oleh buah-buah ketidakberhasilan mereka menjadi imam (pemimpin) di lingkungan rumahtangganya. Nah, yang menjadi titik central bagi kesuksesan seorang pemimpin dan masyarakat yang dipimpin itu adalah ketakwaan.

Sifat takwa itulah yang merupakan tujuan dari beberapa ibadah termasuk tujuan dari ibadah puasa. Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah (2): 183)

Para Pembaca yang mulia! Untuk mengetahui lebih lanjut mengapa puasa bisa dikatakan sebagai rahasia paling besar bagi kesuksesan suatu bangsa, marilah kita tela’ah mutiara hikmah yang penulis ambil sepenuhnya dari tulisan Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad r.a., Khalifatuts-Tsaani Lil-Imaamil Mahdi Wal-Masiihil Mau’uud a.s.yang sudah diterjemahkan dari At-Tafsir Al-Kabiir (Bahasa Arab) Volume II,halaman 365-379 oleh Yth. Drs. Abdul Rozaq.

Beliau (Hadhrat Khalifatul Masih Ats-Tsaani r.a.) bersabda: “Al-Qur’an tidak memberikan gambaran detail mengenai bentuk puasa dalam bangsa-bangsa yang terdahulu (sebelum masa Rasulullah Saw.) untuk membuktikan keutamaanya. Di sini (Al-Baqarah: 183), Allah Ta’ala hanya berfirman bahwa puasa itu bukanlah ibadah yang khusus diwajibkan kepada umat Islam sekarang, tetapi juga diwajibkan kepada umat- umat yang terdahulu.

Wujud puasa dalam bangsa – bangsa terdahulu tidak menunjukkan keutamannya, tetapi hanya menunjukkan pada kepentingannya. Adapun beberapa keutamaan serta manfaaat puasa benar-benar disebutkan dalam firman Allah Ta’ala (La’allakum Tattaquun)…..Artinya : “Kami benar-benar mewajibkan puasa itu kepadamu agar kamu selamat dan sempurna.”

Para pembaca sekalian, La’allakum tattaquun sebagai tujuan puasa, mempunyai banyak makna dan hikmah, di antaranya:

Pertama: “Sungguh Allah Ta’ala benar-benar telah mewajibkan berpuasa kepada kita  sampai kita bertakwa (kuat) menerima kewajiban bangsa-bangsa lain yang berpuasa dan menanggung sengsara lapar, haus dan panasnya cuaca untuk mengharapkan ridha Allah Ta’ala sehingga hati menjadi suci dan ruhani menjadi meningkat dan manusia terjaga dari keburukan-keburukan.

Kedua : Firman Allah Ta’ala “La’allakum Tattaquun” mengisyaratkan bahwa orang yang berpusa melindungi diri dengan pertolongan Allah Ta’ala, karena ketaqwaan menjadikan kewaspadaan dan menjadikan sesuatu sebagai perantara untuk keselamatan.

Sesungguhnya kami mewajibkan puasa kepadamu sampai kamu menjadikan Allah sebagai benteng yang memberikan perlindungan kepadamu dari keburukan-keburukan dan menjaga kamu dari kehilangan kebaikan-kebaikan.

Ringkasnya, seseorang yang bertakwa itu condong kepada perbuatan baik dan menjaga diri dari keburukan serta kehinaan. Bahkan puasa itu terkadang melindungi diri dari sejumlah penyakit. Penelitian modern menjelaskan bahwa ketuaan dan kelemahan akan menimpa manusia dikarenakan materi (makanan) yang berlebihan. Makanan-makanan yang berkupul dalam jasad manusia bisa membuat penyakit dan kematian.

Ketiga : “dalam puasa terdapat manfaat secara rohani. Orang-orang yang berpuasa dan menahan penderitaan karena Allah, sebenarnya mereka itu beruntung mendapat perlindungan Allah dari siksaan akibat dosa-dosa mereka. Karena itu, sesudah puasa, Allah Ta’ala berfirman “Sesungguhnya Aku adalah dekat hamba-Ku dan Aku mengabulkan doa-doa mereka.” Maka berarti puasa dapat menarik karunia Allah. Sedang orang yang berpuasa menjadikan Allah penjaga yang menjaganya dari setiap penyakit dan keburukan.

Keempat : “Sesungguhnya manusia sewaktu lapar dan merasakan gigitan kepedihannya, sebenarnya ia menaruh perhatian kepada saudara-saudaranya yang fakir dan kekurangan. Menyelamatkan mereka dari kehancuran adalah merupakan tindakan untuk menyelamatkan dirinya dari kerusakan. Karena menyelamatkan sebagian pribadi dari suatu bangsa berarti memberikan manfaat kepada semua bangsa itu. Untuk itu Rasulullah Saw. Memperbanyak sedekah dalam hari-hari bulan Ramadhan.”

Beliau bersabda dalam suatu hadits: “Dalam bulan Ramadhan itu ada kemurahan  dan pemberian kebaikan karena angin ruhani yang dikirimkan.” (Bukhari, dalam kitabush-shaum). Sesungguhnya puasa itu termasuk rahasia paling besar bagi kemajuan suatu bangsa, agar manusia memberikan manfaat kepada orang-orang lain dengan sesuatu yang dimilikinya.

Setiap macam kebinasaaan dan kerusakan hanya bisa terlepas dari suatu bangsa, apabila pribadi-pribadi bangsa itu berpikiran bahwa ia tidak mempunyai hak dalam segala sesuatu yang dimiliki orang lain. Dan, ia tidak akan mengambil manfaat dari barang itu, kecuali pemiliknya sendiri.

Meskipun, azas undang-undang dan peradaban dunia dibentuk untuk memulai agar selain aku bisa mengambil manfaat dari apa yang ada di sisiku. Dan, inilah suatu kondisi yang dibiasakan oleh bulan Ramadhan. Memang kekayaan adalah milik kita, materi makanan dan minuman adalah milik kita, akan tetapi kita diperintah agar memberikan manfaat kepada orang-orang lain dengan milik kita itu dan memberikan kepada mereka dengan itu, karena sesungguhnya inilah suatu asas bagi eksistensi suatu bangsa.

Kelima: Sesungguhnya puasa itu menyelamatkan manusia dari kehancuran, dengan arti bahwa puasa itu membiasakan manusia untuk menanggung penderitaan. Dan, orang-orang yang terbiasa menderita dan sengsara dengan segala macamnya tidak akan jatuh (mundur) semangatnya ketika penderitaan itu terlepas. Dan, mereka sungguh-sungguh melawan kesengsaraan dengan keberanian dan mereka mendapatkan kesuksesan dan keselamatan.

Sebagaimana hukum-hukum duniawi menentukan sikap hati-hati para prajuritnya. Mereka membiasakan latihan selama satu bulan atau dua bulan dalam setahun. Dan, ketika terjadi perang berkobar, mereka dituntut cepat dan tangkas. Demikian juga orang-orang Islam diperintah supaya membiasakan diri berpuasa dalam bulan Ramadhan, karena mereka tidak akan berpuasa dan (shalat) Tahajjud setiap bulan dalam setahun, sebagaimana para prajurit yang biasa mengerjakan latihan dengan teratur, mereka tidak akan melarikan diri dalam keadaan kacau.

Demikian juga, bangsa yang pribadinya baik dan takwa, mereka terbiasa meninggalkan sesuatu karena Allah Ta’ala….tidak mungkin ia berjumpa syetan dengan kehancuran, dan mereka selamanya  seperti prajurit ruhani dalam menghadapi kekuatan syetan yang siap menghancurkan mereka.

Puasa membiasakan manusia untuk berkorban. Pada umumnya kaum muslimin keluar dari rumah mereka untuk mengkhidamti agama, sebagimana mereka menghadapi sengsaranya rasa lapar dan haus dalam perjuangan mereka untuk menyampaikan dakwah agar manusia kembali kepada Allah.

Orang-orang fakir adalah orang-orang yang biasa menghadapi kesengsaraan ini. Akan tetapi, orang-orang yang kaya tidaklah demikian. Maka puasa adalah melatih mereka juga untuk menanggung kesengsaraan lapar dan haus sampai mereka mendengar panggilan Allah, yaitu: “Wahai orang-orang Islam, kemarilah dan berjuanglah di jalan Allah. Giat dan rajinlah kamu semua tanpa ragu-ragu dan bimbang atau merasa berat dalam hati (malas).

Di antara manfaat puasa yang paling besar ialah untuk melatih manusia menghadapi kesengsaraan dan kesulitan di jalan kebaikan. Sesungguhnya manusia diciptakan berdiri tegak di dunia ini adalah untuk melakukan perbuatan yang bermacam-macam. Dan, bulan Ramadhan mengandung intisari dari Tashawwuf ….dalam bulan Ramadhan sedikit tidur, karena setiap umat Islam bangun malam untuk shalat Tahajjud.

Dalam bulan Ramadhan, sedikit makan, kondisi ini nampak karena ia merasakan lapar sepanjang hari. Dalam bulan Ramadhan, sedikit hubungan kelamin, dan di dalam bulan itu juga sedikit berbicara. Seorang sufi telah berkata: “Bahwa sesungguhnya ruh tashawwuf itu adalah sedikit berbicara, sedikit makan dan sedikit tidur.”

Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Puasa itu bukanlah seseorang mencegah makan dan minum, akan tetapi puasa itu ialah ia meninggalkan pembicaraan yang sia-sia.”

Keenam: “Diantara firman Allah Ta’ala “La’allakum Tataquun” adalah bahwa manusia yang berpuasa, merasa takut kepada berbagai macam keburukan dan dosa-dosa dengan sarana berpuasa. Puasa menyebabkan seseorang terputus dari keduniaan, sehingga pandangan ruhaninya bertambah tajam dan ia bisa melihat hal-hal yang ghaib, yang sebelum itu ia tidak bisa melihatnya.

Orang yang berpuasa merasa takut kepada dosa dengan menahan lisannya sedemikian rupa sesuai dengan ajaran yang disabdakan oleh Rasulullah Saw. : “Siapa yang  tidak meninggalkan ucapan dusta, maka Allak tidak membutuhkan orang yang hanya meninggalkan makanan dan minumannya (ketika berpuasa)” (Bukhari dan Kitabus-Shaum).

Maksudnya, puasa tidak hanya manusia mencegah diri dari makanan dan minuman sepanjang hari. Bahkan wajib baginya menjaga mulutnya dari setiap apa yang membahayakan ruhaninya. Maka orang yang berpuasa itu tidak akan berdusta, tidak akan mencaci maki, mencela dan tidak pula bertengkar mulut.

Perintah menjaga lisan adalah umum dan wajib melakukan penjagaan itu selamanya. Akan tetapi, orang yang berpuasa menjaga lisannya dengan secara khusus, dan jika tidak puasanya rusak. Dan apabila manusia sudah terbiasa menjaga lisannya sebulan penuh, maka terbentuklah penjagaan dirinya dalam semua bulan yang lain juga. Demikianlah, hakikat puasa yang mampu menjaga manusia dari dosa-dosa untuk selamanya.”

Ketujuh: Dan Firman Allah Ta’ala: “La’allakum Tataquun”, menyebutkan manfaat lainnya bagi puasa, yaitu bahwa puasa itu benar-benar memperkuat tumit manusia di atas ketakwaan. Dan menyediakan baginya untuk memperoleh derajat ruhani yang tinggi.

Tidak ada orang yang dimuliakan selain orang-orang yang berpuasa untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan puasa. Bahkan, orang-orang fakir dalam puasanya merasakan perubahan ruhani dalam diri mereka. Dan mereka mendapatkan kesenangan karena pertemuannya dengan Allah Ta’ala.

Sesungguhnya orang-orang fakir itu ialah orang-orang yang hidup dalam kesempitan sepanjang tahun. Dan, terkadang mereka merasakan lapar sekali sesudah waktu lapar yang lain. Allah mengingatkan mereka dengan bulan Ramadhan supaya mereka mendapat keringanan dengan mengambil buah sebagai pahala dari rasa lapar ini.

Pahala rasa lapar karena Allah adalah besar, sampai-sampai ada hadits Qudsi bahwa Allah benar-benar berfirman: “Puasa itu adalah milik-Ku, dsn Aku sebagai pahala (karena) puasa itu.” Maksudnya ialah bahwa setiap kebaikan mempunyai balasan yang bermacam-macam. Adapun, puasa bagi seseorang yang berpuasa adalah Allah sebagai pahalanya. Dan apabila manusia sudah mendapatkan Allah, maka apalagi yang ia inginkan sesudah itu?

Para pembaca sekalian! Banyak sekali makna dan manfaat puasa yang dijelaskan Hz.Khaifatul Masih At-Tsani ra.dalam membahas ayat “La’allakum Tattaquun” (QS. Al-Baqarah : 183) ini. Sebab, masih panjangnya uraian beliau r.a., penulis tidak dapat menuliskannya secara keseluruhan.

Adapun, sebagai kesimpulan akhir yang juga tercantum dalam tafsir dari beliau ra. di bagian akhir bahasan “La’allkum Tattquun” dalam ayat ini bahwa sesungguhnya puasa itu suatu sarana agar manusia terpelihara dari penyakit, keburukan dan dosa-dosa disamping sarana untuk bertemu dengan Allah Ta’ala.

Memang benar, secara lahiriah puasa itu tampaknya sebagai penyebab kerusakan, karena manusia ketika berpuasa dipaksa supaya lapar. Ia mendapatkan makanan di luar waktu yang biasa ia makan, semalaman ia tidak tidur, dan ia diperintah untuk memperbanyak sedekah disamping ia dianjurkan untuk memperhatikan orang-ornag fakir dengan kemurahan dan pemeliharaan.

Akan tetapi, hakikat sebenarnya dari semua pengorbannnya itu, menjadikan manusia sebagai wujud yang dicintai Allah Ta’ala. Dan kenyataan demikian inilah yang mengantarkan manusia kepada kemajuan secara nasional.

Beberapa waktu yang lalu, kita telah memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 63 dan tak lama lagi bulan Ramadhan pun akan segera tiba. Marilah kita maknai sejarah paradaban bangsa kita dengan berlomba-lomba dalam kebaikan, dengan harapan supaya ketidak adilan tidak lagi merajalela di bumi kita tercinta.

Kita warnai bulan ramadhan dengan amalan-amalan nyata  yang mengundang keridhaan Allah Ta’ala..dengan harapan supaya kita memperoleh ketakwaan yang berkesinambungan meskipun bulan Ramadhan akan berlalu.  Semoga Allah Ta’ala senantiasa melindungi, merahmati dan membimbing kita di dalam segala sesuatunya. Amiin. 


Referensi:

At-Tafsir Al-Kabiir Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad r.a., Khalifatuts-Tsaani Lil-Imaamil Mahdi Wal-Masiihil Mau’uud a.s. (Bahasa Arab) Volume II,halaman 365-379, yang diterjemahkan oleh Yth. Drs. Abdul Rozaq.

Post a Comment

0 Comments